Maxride Kembali Mengaspal di Solo, Bantu Pengemudi Roda Tiga Bangkit di Era Transportasi Digital
SOLO — Layanan transportasi roda tiga Maxride kembali terlihat beroperasi di Kota Solo setelah sebelumnya sempat berhenti sementara akibat terbitnya Surat Edaran (SE) Wali Kota Solo yang melarang aktivitas bajaj berbasis aplikasi.
Kemunculan armada beroda tiga ini disambut positif oleh para pengemudi tradisional yang selama beberapa tahun terakhir mengalami penurunan pendapatan. Kehadiran Maxride dinilai menjadi peluang baru bagi mereka agar tetap bisa bersaing di tengah perubahan pola transportasi masyarakat.
Regional Manager Maxauto Maxride DIY–Jawa Tengah, Bayu Subolah, menegaskan bahwa Maxride hadir bukan sekadar sebagai layanan transportasi alternatif, tetapi juga sebagai ruang pemberdayaan bagi para pekerja transportasi yang terdesak oleh perkembangan zaman.
“Selama ini banyak pengemudi roda tiga tradisional yang kesulitan bertahan. Maxride ingin membantu mereka beradaptasi dengan model transportasi digital,” ujar Bayu.
Sebagian besar mitra Maxride merupakan mantan pengayuh becak yang sudah lanjut usia. Dengan adanya kendaraan roda tiga bermesin, mereka tidak lagi terbebani pekerjaan berat seperti sebelumnya. Hal ini membuat mereka tetap bisa bekerja dengan tenaga yang lebih ringan namun tetap mendapatkan pemasukan.
Terkait keamanan armada, Bayu menegaskan bahwa seluruh kendaraan yang digunakan Maxride telah mengantongi Surat Registrasi Uji Tipe (SRUT).
Penumpang pun disebut sudah terlindungi dengan asuransi dari Jasa Raharja. Maxride juga menyiapkan rencana kerja sama lanjutan dengan penyedia asuransi lain serta BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan perlindungan bagi para pengemudi.
Saat ini, jumlah pengemudi aktif Maxride berada di Kota Solo kisaran 20 orang dan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya permintaan pengguna aplikasi. Bayu memperkirakan hingga akhir tahun Maxride mampu menambah 50–100 unit baru untuk memenuhi kebutuhan di Solo.
Ia juga menyoroti peluang ekonomi yang cukup menjanjikan bagi para mitra. Dengan harga unit sekitar Rp50 juta, penghasilan yang dapat diperoleh pengemudi berkisar Rp3 juta per bulan.
“Jika digunakan penuh waktu, modal pembelian unit bisa kembali kurang dari satu tahun. Sementara bagi pemilik armada, estimasinya sekitar dua tahun,” jelasnya.
Meskipun kembali beroperasi, posisi Maxride masih belum sepenuhnya stabil lantaran SE Wali Kota yang belum dicabut. Manajemen berencana melakukan audiensi resmi dengan Pemerintah Kota Solo untuk mencari solusi bersama.
“Kami ingin berdialog langsung dengan pemerintah agar persoalan ini dapat diselesaikan. Banyak warga yang menggantungkan hidup pada layanan ini,” tutur Bayu.
Bayu juga berharap agar regulasi ke depan bersifat lebih merata dan memberi ruang bagi seluruh moda transportasi online, khususnya yang memakai pelat hitam.
Maxride kini mulai membangun kembali komunikasi dengan komunitas ojek online lain di Solo. Langkah ini dilakukan untuk meminimalkan konflik dan memastikan situasi tetap kondusif di lapangan.
“Kami ingin menjaga keharmonisan dengan semua pihak. Kalau ada perbedaan pendapat, kami siap membicarakannya,” tambah Bayu.
Kembalinya Maxride ke jalanan Solo memberi angin segar bagi banyak pengemudi berpenghasilan rendah. Mereka yang sebelumnya mengandalkan tenaga fisik kini bisa bekerja dengan cara yang lebih ringan serta memperoleh pendapatan lebih stabil.
Bayu menutup dengan harapan agar pemerintah daerah bisa melihat manfaat sosial tersebut secara lebih luas.
“Kami ingin tumbuh bersama masyarakat Solo. Harapan kami, regulasi bisa menemukan titik temu agar program pemberdayaan ini tetap berjalan,” ujarnya.

