Untag Surabaya Gelar Sarasehan dan Doa Bersama di Rumah Kelahiran Bung Karno

Surabaya – Dalam rangka memperingati Bulan Bung Karno, Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya dan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menggelar sarasehan dan doa bersama di dua lokasi bersejarah, yaitu Rumah Kelahiran Bung Karno di Peneleh dan Rumah HOS Tjokroaminoto, pada Selasa, 24 Juni.

Kegiatan ini bertujuan untuk mengenang perjalanan hidup dan perjuangan Sang Proklamator bangsa, sekaligus meneguhkan kembali semangat patriotisme di kalangan civitas akademika Untag Surabaya. Bung Karno, yang dikenal sebagai Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, juga merupakan penggagas utama berdirinya Untag Surabaya.

Rektor Untag Surabaya, Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, MM., CMA., CPA., menegaskan bahwa sarasehan dan doa bersama ini merupakan bagian penting dalam memperkuat identitas Kampus Merah Putih. Ia berharap kegiatan ini dapat membangkitkan semangat inovasi, kreativitas, dan tanggung jawab kebangsaan di kalangan generasi penerus bangsa. “Hari ini kita mengenang tempat lahirnya Bapak Bangsa kita, Bung Karno. Untag Surabaya lahir dari gagasan Bung Karno, oleh karena itu kita harus senantiasa menghormati jejak sejarah ini. Melalui kegiatan ini, semoga semangat patriotisme, yakni mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, dapat terus bergelora di tengah civitas akademika. Kita harus mewarisi keberaniannya dalam berinovasi dan berkorban demi kepentingan bangsa,” ungkapnya.

Prof. Nugroho juga menambahkan bahwa sepanjang Bulan Juni ini, YPTA Surabaya menyelenggarakan beragam kegiatan, termasuk Lomba Peragaan Busana dan Reka Peristiwa Soekarno dan Fatmawati, Lomba Baca Puisi, serta berbagai lomba lainnya. Semua rangkaian kegiatan tersebut bertujuan untuk menanamkan nilai perjuangan dan keteladanan Bung Karno di hati generasi muda. “Momentum ini juga mengajak kita semua untuk merenungkan nilai-nilai perjuangan Bung Karno sebagai sumber inspirasi dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua YPTA Surabaya, J. Subekti, SH., M.M., dalam sarasehan ini mengisahkan perjalanan panjang perjuangan Bung Karno yang penuh pengorbanan demi kemerdekaan Indonesia. Sejak muda, Bung Karno telah menempuh jalan berat sebagai pejuang bangsa, mulai dari berguru kepada HOS Tjokroaminoto di Surabaya, hingga merasakan pahitnya pembuangan ke Ende dan Bengkulu. Tidak hanya menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial, Bung Karno juga berkali-kali dipenjara dan dijauhkan dari rakyatnya demi membungkam perjuangannya untuk kemerdekaan. “Bung Karno adalah sosok pemimpin yang tidak sekadar memproklamasikan kemerdekaan, tetapi juga rela menanggung derita, pengasingan, dan fitnah demi memperjuangkan nasib bangsanya. Semangat juangnya terbentuk dari pergulatannya sejak di Surabaya,” ujarnya.

Namun, lanjut J. Subekti, ironi sejarah justru terjadi di penghujung hidup Sang Proklamator. Meski Bung Karno lahir di Surabaya, tempat peristirahatan terakhirnya justru ditetapkan di Blitar, bukan di dekat Istana Bogor sebagaimana wasiatnya. Keputusan ini, menurut J. Subekti, merupakan hasil pertimbangan politik penguasa saat itu.

 “Setelah beliau wafat pun, masih ada kontroversi terkait tempat pemakamannya. Sejarah mencatat, Bung Karno lahir di Surabaya, tetapi dimakamkan di Blitar karena keputusan pemegang kekuasaan tertinggi kala itu. Bahkan, jenazah beliau sempat tidak dirawat sebagaimana mestinya dan dipindahkan ke ruang lain beralas karpet lusuh sebelum akhirnya dimakamkan secara Islam di Blitar. Inilah ironi sejarah yang harus kita ingat bersama,” kisahnya.