Fakultas Hukum Unair Gelar FGD Dengan Tema ” “Pertanggungjawaban Pidana Kasus Tragedi Kanjuruhan Malang”
SURABAYA,- Mengambil tema “Pertanggungjawaban Pidana Kasus Tragedi Kanjuruhan Malang”. Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (25/11/2022) menggelar FGD (Forum Group Discussion) dengan beberapa ahli forensik dan pakar hukum pidana.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Iman Prihandono menjelaskan, hari ini baru saja selesai melaksanakan FGD (Focus Group Discussion) tentang pidana di Tragedi Kanjuruhan.
“Jadi Fakultas hukum Airlangga berinisiatif untuk membantu semua pihak yang terlibat dalam kasus ini. Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim-hakim di pengadilan nanti begitu juga dengan korban-korban untuk membedah kasus ini sebenarnya dari sudut pandang akademis seperti apa?,” jelasnya.
Bagaimana kampus dan dosen-dosen secara teoritis dan praktis – praktis juga melihat kasus ini. Makanya kita mendatangkan tidak hanya ahli-ahli hukum tapi juga ahli-ahli di bidang lainnya.
“Jadi ada ahli psikologi untuk melihat bagaimana sih keadaan psikologi masa waktu itu yang yang membuat kasus ini bisa terjadi terus juga ada dua orang ahli forensik satu orang guru besar dan satu orang ketua perkumpulan arsip forensi,” tambahnya.
Jadi yang tidak dilakukan lagi. Tentunya kapasitasnya mengenai yang membahas mengenai sebenarnya penyebab kematian dari korban itu apa?. Karena penyebab kematian itu kenapa, penyebab kematian penting karena harus dikaitkan dengan tindakannya gitu dalam hukum pidana.
“Itu ada kausalitas sehingga kita perlu ada referensi yang selain hukum lagi kita juga perlu ahli kimia untuk menunjukkan atau memberikan pandangannya tentang apa rangkaian kimianya dari gas air mata dan apakah dengan rangkaian yang seperti itu dapat menimbulkan kematian gitu secara tiba-tiba atau dapat menimbulkan kematian yang langsung,” sebut dia
Unsur-unsur pidananya 340 dan 338 apakah masuk pembunuhan berencana dan lain-lain. Jadi paling tidak tadi ada lima topik atau lima pembahasan yang dilakukan balik ke pelanggaran berat HAM kalau ini pelanggan berat HAM maka kemungkinan yang paling mungkin masuk dalam pelanggaran HAM yaitu pelanggaran terhadap kemanusiaan (Friends Agensi Unity).
“Pelanggaran berat sama lainnya seperti genosida yang di undang-undang 2000. Tentu tidak masuk karena tidak ada unsur ras, suku, agama. Begitu juga kalau mau pakai status aroma pelanggaran berat yang berkaitan dengan apa word crime maupun agresif. Jelas tidak masuk,” urainya.
Jadi satu-satu kemungkinan pelanggaran terhadap manusia kalau dicek lagi pelanggan terhadap kemanusiaan itu unsur-unsurnya harus sistematis dan atau sistematis atau meluas watchpad or sistem.
“Kalau white straight-nya tentu tidak masuk juga karena enggak ada rangkaian series, gimana ada apa tindakan terhadap tempat satu tempat di tempat yang lain itu tidak masuk. Jadi yang paling mungkin masuk ada syarat sistematis nya,” tutup dia.
Sementara itu, Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengungkapkan, penerapan Pasal 340 tidak dan 338 tidak, karena pasal 340 itu pembunuhan berencana. Sehingga ada suatu perencanaan, tidak mungkin aparat itu membunuh.
“338 juga tidak ada kesengajaan membunuh apalagi HAM. Kalau HAM jelas tidak mungkin, kemanusiaan itu bicara secara sistematis dan serangan itu harus dengan senjata, ini kan dengan gas air mata sehingga harus kita kesampingkan kasus ini adalah masuk HAM,” ungkapnya.
Tetapi kalau 359 itu bisa diterapkan dengan catatan, pertama apakah bisa dibuktikan bahwa penyemprotan gas itu tidak sesuai dengan SOP. FIFA sudah melarang bahwa di sepak bola bicara gas air mata.
“Kedua saya melihat ini kok nyemprotnya ke tribun. Jadi menurut saya yang tepat dikenakan 359 itu kurang berhati hati dan menduga duga dan ini masuk kealpaan tidak disadari aparat, siapa yang bisa disalahkan komandan yang memerintahkan penyemprotan itu. Karena anak buah tidak bisa, karena anak buahnya pasti akan tunduk, karena anak buah dilindungi pasal 51 KUHP. Dia melaksanakan perintah jabatan,” ungkapnya.
Bagaimana jika penyelenggara bisa dikenakan pasal 359, dia melakukan pembiaran pembiaran karena sampai over kapacity. Makanya yang sangat penting apakah penyebab kepanikan.
“Apakah orang orang panik karena di semprot kah atau yang lain. Karena itu harus dibuktikan, mungkin dari CCTV ataupun video video amatir yang harus dikumpulkan, karena hukum pidana mencari kebenaran material tidak bisa parsial,” bebernya.
Sementara itu, Dr. Nabil Bahasuan, Ketua PDFI (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia) menyebutkan, dengan adanya FGD (Forum Grup Discussion) masalah ini Insya Allah bisa selesai. Sehingga semua korban, keluarga korban dan masyarakat di Malang bisa mendapatkan keadilan yang diinginkan.
“Kita juga menginginkan, bahwa semuanya sudah berjalan dengan semestinya ya kita juga sudah melaksanakan pemeriksaan dan semua pemeriksaan itu akan saya lakukan nanti sudah selesai. Tinggal beberapa waktu lagi ya nanti pertanyaannya sudah sedikit lagi ya kita sabar kita namanya ketepatan ya bukan kecepatan itu yang paling utama,” katanya.