Puluhan Karya Lukis Anak Berkebutuhan Khusus di Pemerkan Di Gedung Merah Putih

Surabaya – Puluhan karya lukis anak berkebutuhan khusus (ABK) se- Jawa timur dipamerkan di Galeri Merah Putih, komplek balai pemuda, kota Surabaya Kamis (20/10/202).

Para peserta pameran ini, berasal dari 6 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tersebar di Jatim, mulai dari Surabaya hingga Pasuruan.

Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Autism Awareness Indonesia (AAI) Jatim Vivin Komala, S. Sos, A.md. Akup mengatakan, pameran ini diselenggarakan untuk membangun rasa percaya diri pada anak berkebutuhan khusus, terutama dalam bidang seni rupa.

“Tujuan kegiatan ini membangun rasa percaya diri anak-anak. Kami tidak bisa memaksakan anak-anak istimewa ini, mereka harus digali kesukaannya apa,” katanya.

Selain itu, Vivin berharap, lewat kegiatan pameran lukisan bertajuk ‘Painting Exhibition, Bangkit Menjadi Bintang’ ini, anak-anak berkebutuhan khusus tersebut bisa mendapatkan support dari masyarakat, terutama yang berada di lingkungan sekitarnya.

“Harapannya anak-anak mandiri tidak dikasihani, tetapi disupport. Jadi, tidak dipandang remeh, didiskriminasi. Mereka punya keahlian yang orang biasa belum tentu bisa. Kami mendidik mereka agar mandiri,” jelas Vivin.

Sementara itu, Hendrik, pendidik lukis anak-anak berkebutuhan khusus itu menyampaikan bahwa teknis pembelajaran yang dilakukan kepada anak-anak tersebut berbeda dengan anak autis. Ia menyebut, faktor kemampuan anak memiliki jenis yang berbeda.

“Kalau mengajar down syndrome, contohnya paling bersih, tingkat kehati-hatiannya luar biasa. Mereka sangat jujur, tidak suka dicederai. Teknis pembelajarannya berbeda dengan autis, pegang kuas nggak bisa, mengaduk cat juga. Saya tidak menuntun, saya biarkan, biar motoriknya bekerja,” ujar Hendrik.

Hendrik juga mengungkapkan, ada sejumlah perbedaan sikap dari setiap anak berkebutuhan khusus tersebut. Misalnya mereka yang tuna rungu, tuna wicara, memiliki kepribadian yang mudah tersinggung.

“Misal nggak diperhatikan, dikira nggak memperhatikan ketika mengajar. Down syndrome agak cepat, durasi 15-25 menit. Dia jenuh enggak mau lama-lama. Kalau tuna rungu, wicara, diam merenung durasi 30-40 menit dan bisa lebih. Sebelum lukisan selesai tidak mau berhenti,” jelasnya.

Sedangkan Erza Maulina, Guru Kelas SLB Fajar Harapan, Karangpilang, Surabaya mengaku dirinya tak menyangka jika murid-muridnya bisa melukis dan mengekpresikan diri lewat karya seni lukis.

“Anak-anak mulai dari nol, di sekolah diberi gambar dan mewarnai kemudian datang Pak Hendrik ada tawaran mengajak melukis dan berekspresi. Awalnya ragu, akhirnya berbekal kepercayaan kami ajak melukis ternyata di luar dugaan, bisa melukis tanpa berpikir,” ungkapnya.

Erza juga mengaku sempat menemui sejumlah kendala, seperti sulitnya berkomunikasi dengan anak-anak tersebut. Namun, saat ini anak-anak tersebut sudah memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.

“Misal gambar monyet, awalnya dari mata terus dikasih mulut. Kendalanya mereka sulit berkomunikasi jadi kami mengarahkan sulit. Nilai plusnya mereka berekspresi dengan pikirannya masing-masing. Sekarang anak-anak ini tingkat kepercayaan dirinya luar biasa,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *